Minggu, 21 Desember 2014

YASSSER ARAFAT

  

Siapa yang tidak kenal dengan Tokoh Palestina yang satu ini,Beliau terkenal Gigih,Patriotik,Nasionalisme mempertahankan Bumi Palestina dari Zionis Israel,
Mohammed Yasser Abdel Rahman Abdel Raouf Arafat al-Qudwa (bahasa Arab: محمد ياسر عبد الرحمن عبد الرؤوف عرفاتTemplat:Lrm; 24 Agustus 1929 – 11 November 2004), lebih dikenal sebagai Yasser Arafat (bahasa Arab: ياسر عرفات , Yāsir `Arafāt) atau dengan kunya Abu Ammar (bahasa Arab: أبو عمار , 'Abū `Ammār) adalah seorang negarawan Palestina. Ia merupakan Ketua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Presiden Otoritas Nasional Palestina (PNA), pemimpin partai politik dan mantan pasukan milisi Fatah, yang ia dirikan pada tahun 1959. Arafat menghabiskan sebagian besar hidupnya menentang Israel atas nama hak penentuan nasib rakyat Palestina. Awalnya bersikap menentang keberadaan Israel, dia mengubah sikapnya pada tahun 1988 ketika menerima Resolusi 242 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Arafat dan gerakannya beroperasi dari beberapa negara Arab. Pada akhir 1960an hingga awal 1970an, Fatah berhadapan dengan Yordania dalam sebuah perang sipil. Diusir keluar dari Yordania dan terpaksa mengungsi ke Lebanon, Arafat dan Fatah merupakan target utama invasi militer Israel atas negara tersebut pada tahun 1978 dan 1982.

Selanjutnya, Arafat terlibat dalam serangkaian perundingan dengan Israel untuk mengakhiri konflik yang berlangsung selama satu dekade antara negara tersebut di PLO. Di antara perundingan-perundingan ini adalah Konferensi Madrid 1991, Perjanjian Oslo, dan pertemuan di Camp David pada tahun 2000. Lawan-lawan politiknya, seperti kaum Islamis dan faksi kiri PLO, sering menuduhnya sebagai seorang yang korup atau terlalu tunduk kepada persyaratan-persyaratan yang diberikan oleh Israel. Pada saat-saat itu, Hamas dan organisasi-organisasi militan lainnya mulai naik daun dan menggoyahkan pemerintahan yang telah dibangun oleh Fatah dibawah Arafat di Palestina. Pada akhir 2004, setelah diisolasi secara efektif oleh tentara Israel di rumahnya sendiri di Ramallah, Arafat jatuh sakit, mengalami koma dan wafat pada tanggal 11 November 2004, dalam usia 75 tahun. Penyebab penyakit dan kematiannya masih menjadi bahan perdebatan hingga hari ini.

Hingga hari ini, Arafat masih dikenang sebagai seorang tokoh kontroversial yang warisannya kerap dipertanyakan. Mayoritas rakyat Palestina, tanpa mengenal ideologi politik, melihatnya sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang heroik dan martir yang menyimbolkan jeritan hati rakyatnya, sementara banyak warga Israel mengenalnya sebagai seorang teroris yang tidak pernah menyesali perbuatannya. Beberapa kritikus menuduh Arafat adalah seorang pemimpin yang korup, secara rahasia menghimpun kekayaan pribadi sebesar 1,3 miliar dolar Amerika Serikat tanpa memedulikan kondisi ekonomi rakyat Palestina yang mayoritas hidup di tengah kemiskinan.
Nama panjang Arafat adalah Mohammed Abdel Rahman Abdel Raouf Arafat al-Qudwa. Mohammed Abdel Rahman adalah nama pertamanya, Abdel Raouf adalah nama ayahnya, dan Arafat adalah nama kakeknya. Al-Qudwa adalah nama suku Arafat dan al-Husseini adalah nama klan induk al-Qudwa. Klan al-Husseini berasal dari Gaza, dan harus dibedakan dengan klan lain asal Yerusalem yang terkenal namun tidak berkaitan, al-Husayni.

Karena Arafat dibesarkan di Kairo, menanggalkan nama Mohammed atau Ahmad adalah sesuatu yang dianggap lazim di sana; tokoh-tokoh Mesir seperti Anwar Sadat dan Husni Mubarak juga melakukannya. Namun, Arafat juga menanggalkan Abdel Rahman dan Abdel Raouf dari namanya. Pada awal 1950an, Arafat mulai menggunakan nama Yasser. Selama bergerilya, dia mulai memakai Abu Ammar sebagai nom de guerre-nya. Kedua nama ini terkait dengan Ammar bin Yasir, salah seorang sahabat Nabi Muhammad. Walaupun menanggalkan sebagian besar nama aslinya, dia memilih tetap memakai nama Arafat karena pengaruh nama tersebut dalam tradisi Islam.

Arafat dilahirkan di Kairo, Kerajaan Mesir. Ayahnya, Abdel Raouf al-Qudwa al-Husseini, adalah seorang Palestina dari Kota Gaza, yang beribukan warga Mesir. Ayah Arafat berjuang selama dua puluh lima tahun di pengadilan Mesir untuk mengklaim tanah keluarga mereka di Mesir sebagai bagian dari warisannya, tetapi tidak berhasil. Ia bekerja sebagai seorang pedagang kain di distrik El-Sakakini, sebuah distrik yang ditinggali orang-orang dari berbagai macam agama. Arafat adalah anak kelima dari tujuh bersaudara, dan satu dari dua (bersama adiknya Fathi) anak keluarga itu yang dilahirkan di Kairo. Ibunya, Zahwa Abul Saud, lahir dari sebuah keluarga yang berasal dari Yerusalem. Ia wafat karena menderita penyakit ginjal pada tahun 1933, saat Arafat masih berusia empat tahun.

Kunjungan pertama Arafat ke Yerusalem terjadi saat ayahnya, yang tidak mampu membesarkan tujuh orang anak sendirian, mengirimnya dan Fathi ke keluarga ibu mereka di Kampung Maroko, yang terletak di dalam Kota Lama. Kedua bocah itu tinggal bersama paman mereka, Salim Abul Saud selama empat tahun. Pada 1937, ayah mereka memanggil pulang keduanya untuk dibesarkan oleh saudara perempuan mereka, Inam.
Arafat mengalami hubungan yang kurang harmonis dengan ayahnya. Saat ayahnya wafat pada tahun 1952, Arafat tidak menghadiri pemakamannya, dan juga tidak mengunjungi makamnya setelah kembali ke Gaza. Saudara perempuan Arafat, Inam, mengatakan kepada sejarawan Inggris Alan Hart, bahwa dia dipukul oleh ayahnya karena mengunjungi pemukiman Yahudi di Kairo. Ketika ia bertanya pada Arafat alasannya tidak berhenti mengunjungi pemukiman itu, dia menjawab bahwa dia ingin mempelajari mentalitas orang-orang Yahudi.

Pada tahun 1980an, Arafat menerima bantuan keuangan dari Libya, Irak, dan Arab Saudi, yang dapat membantunya membangun kembali PLO yang terserak karena perang. Bantuan ini terbukti berguna saat pecahnya Intifada Pertama pada Desember 1987, yang dimulai sebagai sebuah kebangkitan rakyat Palestina menentang pendudukan Israel atas Tepi Barat dan Jalur Gaza. Kata "intifada" dalam bahasa Arab secara harfiah berarti "getaran", tetapi secara umum dipakai untuk menyebut sebuah kebangkitan atau revolusi. 
Fase pertama Intifada dimulai dengan sebuah insiden di pintu perbatasan Erez, dimana empat warga Palestina dari kamp pengungsi Jabaliya terbunuh dalam sebuah kecelakaan lalu lintas yang melibatkan seorang pengemudi Israel. Kabar merebak bahwa kematian tersebut merupakan aksi balas dendam dari kejadian pembunuhan seorang Israel yang tengah berbelanja di Gaza oleh seorang Palestina empat hari sebelumnya. Kerusuhan massal meledak sepanjang pekan, dan sebagian atas permintaan Abu Jihad, Arafat berusaha mengarahkan revolusi baru ini, yang berlanjut hingga 1992–93. Abu Jihad sebelumnya ditugaskan sebagai pemimpin komando PLO di wilayah Palestina dan menurut biografer Said Aburish, mempunyai "pengetahuan luar biasa mengenai kondisi setempat" dalam wilayah-wilayah yang dikuasai Israel. Pada 16 April 1988, saat Intifada tengah membara, Abu Jihad dibunuh di rumahnya di Tunis, diduga oleh regu tembak Israel. Arafat memandang Abu Jihad sebagai penyeimbang dari PLO pada kepemimpinan setempat di Palestina, dan memimpin prosesi pemakamannya di Damaskus.

Taktik paling umum yang digunakan oleh rakyat Palestina selama Intifada adalah melempar batu, bom molotov, dan membakar ban. Beberapa pemimpin setempat di kota-kota Tepi Barat melakukan protes tanpa kekerasan terhadap pendudukan Israel dengan menolak membayar pajak dan memboikot barang-barang Israel; Israel kemudian merespon dengan merampas sejumlah besar uang dalam razia rumah ke rumah rakyat.  Di saat Intifada mulai akan selesai, kelompok bersenjata Palestina baru muncul, terutama Hamas dan Jihad Islam Palestina, yang mulai melancarkan serangan terhadap Israel menggunakan taktik bom bunuh diri. Kecamuk internal antara rakyat Palestina meningkat secara dramatis.

Pada 1990, Arafat menikahi Suha Tawil, seorang Kristen Palestina. Dia berusia 61 tahun dan Suha 27 tahun pada saat pernikahan tersebut. Sebelumnya, ia bekerja sebagai sekretaris Arafat di Tunis, setelah ibunya memperkenalkannya dengan Arafat di Perancis. Sebelum menikah, Arafat telah mengadopsi sekitar lima puluh anak yatim Palestina.
Pada 25 Juli 1995, Suha melahirkan putri mereka di Neuilly-sur-Seine, Perancis. Anak tersebut diberi nama Zahwa, setelah mendiang ibu Arafat.
Selama pernikahannya, Suha beberapa kali berusaha meninggalkan Arafat, tetapi tidak diizinkan oleh suaminya. Ia menyesali pernikahannya dengan Arafat, dan mengatakan jika ia diberi satu peluang lagi, ia tidak akan menikahinya.
Arafat pernah terjebak dalam situasi nyaris tewas pada 7 April 1992, ketika pesawat Air Bissau yang ditumpanginya jatuh di Gurun Libya saat terjadi sebuah badai pasir. Kedua pilot dan seorang insinyur tersebunuh; Arafat mengalami memar dan syok.


0 komentar:

Posting Komentar