
Di daerah
pertanian di utara Jalur Gaza, warga Palestina dihantam serangan keras selama
51 hari oleh pasukan Zionis yang berakhir dengan gencatan senjata pada bulan
Agustus lalu.
“Kami
melarikan diri ketika ‘Israel’ melancarkan invasi terhadap Gaza,” ujar Abu
Rashad Safiyya (22) kepada Al Jazeera. “Kami mencoba untuk kembali ke
rumah kami selama gencatan senjata, namun kami menemukan rumah kami benar-benar
hancur oleh
militer ‘Israel’.”
militer ‘Israel’.”
Safiyya dan
keluarganya mencari perlindungan di sekolah-sekolah PBB terdekat.
“Kami
kembali setelah perang akhirnya berakhir dan telah tinggal di sini di tenda
nilon sejak saat itu,” ungkapnya.
“Mobil-mobil
terbalik dan terbakar. Rumah-rumah rata dengan tanah dan masih berasap selama
berhari-hari, dan kebanyakan hewan kami, domba dan sapi, mati dan berserakan di
ladang.”
Pada awal
Juli, ketika “Israel” melancarkan serangan ketiga di jalur pantai yang diblokade
sejak akhir 2008, sebagian besar penduduk berlindung di sekolah-sekolah PBB dan
fasilitas lainnya. Sekarang, lebih dari tiga bulan kemudian, warga Palestina di
Gaza frustasi dengan lambatnya rekonstruksi. Di daerah seperti Beit Hanoun dan
Shujayea di kota Gaza, seluruh pemukiman rata dengan tanah dan tak bisa
dikenali.
Pasukan
“Israel” menyerang Gaza melalui udara, darat dan laut musim panas ini,
sementara faksi bersenjata di Gaza menembakkan roket ke “Israel” selatan dan
meluncurkan serangan lintas perbatasan menargetkan posisi militer “Israel”.
Dari 2.257
warga Palestina yang gugur, PBB memperkirakan bahwa sedikitnya 1.563 adalah
warga sipil termasuk 538 anak. Pada November, 100.000 orang di seluruh Jalur
Gaza yang terkepung masih menjadi pengungsi, yang tinggal di tempat
penampungan sementara, sekolah atau dengan kerabat.
penampungan sementara, sekolah atau dengan kerabat.
Di
kebanyakan tempat, rekonstruksi belum dimulai. Karena tujuh tahun blokade
“Israel” di Gaza dan kelambanan impor bahan bangunan.
Juru bicara
UNRWA, Chris Gunner mengatakan terdapat 300.000 orang yang tinggal di 90
sekolah pada puncak perang, hari ini dia memperkirakan bahwa hampir 20.000
pengungsi internal tetap berada di 19 sekolah di seluruh Gaza.
“Mereka
adalah orang-orang yang tidak memiliki pilihan lain dan tempat lain untuk pergi,”
ujarnya kepada Al Jazeera.
“Kami
memperkirakan bahwa 20.000 rumah benar-benar dibuat tak layak huni, baik hancur
atau rusak parah sehingga mereka tidak dapat tinggal di dalamnya.”
Efek dari
perpindahan massal telah memukul anak-anak.
“Kalian bisa
membayangkan seperti apa rasanya bagi anak-anak yang pergi ke sekolah dan
melakukan tugas akademik, dan kemudian kembali ke sekolah di lingkungan hidup
kolektif. Sekolah-sekolah ini dirancang untuk tujuan pendidikan, bangunan tidak
dirangcang untuk menampung ribuan orang selama beberapa bulan terakhir.”
Di Beit
Safiyya, penduduk setempat memperkirakan 36 rumah, atau sekitar 90 persen dari
bangunan di daerah tersebut yang telah diperbaiki, kembali dirusak oleh militer
“Israel” selama invasi darat.
“Karena kami
hanya berjarak 600 meter dari perbatasan, tank-tank disebarkan di sekitar
desa,” ujar Abu Rashad Safiyya.
“Saya tidak
mengenal kota saya sendiri, meskipun saya dibesarkan di sini, ketika kami
pertama kali kembali.”
Frustasi
dengan kurangnya bantuan kemanusiaan dan keterlambatan dalam rekonstruksi,
penduduk di Beit Safiyya mulai membangun gubuk kayu untuk tempat tinggal mereka
selama musim dingin. Selain menghabiskan seluruh tabungan mereka,
Safiyya dan keluarganya harus meminjam uang untuk membayar bahan bangunan untuk membangun dua kamar kayu senilai 1.500 USD.
Safiyya dan keluarganya harus meminjam uang untuk membayar bahan bangunan untuk membangun dua kamar kayu senilai 1.500 USD.
“Saya
menganggur dan tidak dapat menemukan pekerjaan dan gaji saudara-saudara saya
juga sangat kecil,” ungkapnya.
“Ini adalah
jumlah uang yang sangat besar bagi kami.”
Daripada
tinggal di tempat penampungan atau sekolah, Yusef Abu Shreti (35), memilih
membangun rumah-rumah kayu. Seorang mantan karyawan Otoritas Palesina, ia
mengambil pinjaman dari bank lokal untuk membeli peralatan dan perlengkapan
yang
dibutuhkan. Dia telah mengawasi penyelesaian selusin rumah dengan luas 10 meter persegi dengan masing-masing terdiri dari dua kamar. Ia menggunakan kayu daur ulang dan selusin rumah lainnya yang sejenis kini tengah berada di bawah konstruksi. (haninmazaya/arrahmah.com)
dibutuhkan. Dia telah mengawasi penyelesaian selusin rumah dengan luas 10 meter persegi dengan masing-masing terdiri dari dua kamar. Ia menggunakan kayu daur ulang dan selusin rumah lainnya yang sejenis kini tengah berada di bawah konstruksi. (haninmazaya/arrahmah.com)
0 komentar:
Posting Komentar