Minggu, 21 Desember 2014

YASSSER ARAFAT

  

Siapa yang tidak kenal dengan Tokoh Palestina yang satu ini,Beliau terkenal Gigih,Patriotik,Nasionalisme mempertahankan Bumi Palestina dari Zionis Israel,
Mohammed Yasser Abdel Rahman Abdel Raouf Arafat al-Qudwa (bahasa Arab: محمد ياسر عبد الرحمن عبد الرؤوف عرفاتTemplat:Lrm; 24 Agustus 1929 – 11 November 2004), lebih dikenal sebagai Yasser Arafat (bahasa Arab: ياسر عرفات , Yāsir `Arafāt) atau dengan kunya Abu Ammar (bahasa Arab: أبو عمار , 'Abū `Ammār) adalah seorang negarawan Palestina. Ia merupakan Ketua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Presiden Otoritas Nasional Palestina (PNA), pemimpin partai politik dan mantan pasukan milisi Fatah, yang ia dirikan pada tahun 1959. Arafat menghabiskan sebagian besar hidupnya menentang Israel atas nama hak penentuan nasib rakyat Palestina. Awalnya bersikap menentang keberadaan Israel, dia mengubah sikapnya pada tahun 1988 ketika menerima Resolusi 242 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Arafat dan gerakannya beroperasi dari beberapa negara Arab. Pada akhir 1960an hingga awal 1970an, Fatah berhadapan dengan Yordania dalam sebuah perang sipil. Diusir keluar dari Yordania dan terpaksa mengungsi ke Lebanon, Arafat dan Fatah merupakan target utama invasi militer Israel atas negara tersebut pada tahun 1978 dan 1982.

Selanjutnya, Arafat terlibat dalam serangkaian perundingan dengan Israel untuk mengakhiri konflik yang berlangsung selama satu dekade antara negara tersebut di PLO. Di antara perundingan-perundingan ini adalah Konferensi Madrid 1991, Perjanjian Oslo, dan pertemuan di Camp David pada tahun 2000. Lawan-lawan politiknya, seperti kaum Islamis dan faksi kiri PLO, sering menuduhnya sebagai seorang yang korup atau terlalu tunduk kepada persyaratan-persyaratan yang diberikan oleh Israel. Pada saat-saat itu, Hamas dan organisasi-organisasi militan lainnya mulai naik daun dan menggoyahkan pemerintahan yang telah dibangun oleh Fatah dibawah Arafat di Palestina. Pada akhir 2004, setelah diisolasi secara efektif oleh tentara Israel di rumahnya sendiri di Ramallah, Arafat jatuh sakit, mengalami koma dan wafat pada tanggal 11 November 2004, dalam usia 75 tahun. Penyebab penyakit dan kematiannya masih menjadi bahan perdebatan hingga hari ini.

Hingga hari ini, Arafat masih dikenang sebagai seorang tokoh kontroversial yang warisannya kerap dipertanyakan. Mayoritas rakyat Palestina, tanpa mengenal ideologi politik, melihatnya sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang heroik dan martir yang menyimbolkan jeritan hati rakyatnya, sementara banyak warga Israel mengenalnya sebagai seorang teroris yang tidak pernah menyesali perbuatannya. Beberapa kritikus menuduh Arafat adalah seorang pemimpin yang korup, secara rahasia menghimpun kekayaan pribadi sebesar 1,3 miliar dolar Amerika Serikat tanpa memedulikan kondisi ekonomi rakyat Palestina yang mayoritas hidup di tengah kemiskinan.
Nama panjang Arafat adalah Mohammed Abdel Rahman Abdel Raouf Arafat al-Qudwa. Mohammed Abdel Rahman adalah nama pertamanya, Abdel Raouf adalah nama ayahnya, dan Arafat adalah nama kakeknya. Al-Qudwa adalah nama suku Arafat dan al-Husseini adalah nama klan induk al-Qudwa. Klan al-Husseini berasal dari Gaza, dan harus dibedakan dengan klan lain asal Yerusalem yang terkenal namun tidak berkaitan, al-Husayni.

Karena Arafat dibesarkan di Kairo, menanggalkan nama Mohammed atau Ahmad adalah sesuatu yang dianggap lazim di sana; tokoh-tokoh Mesir seperti Anwar Sadat dan Husni Mubarak juga melakukannya. Namun, Arafat juga menanggalkan Abdel Rahman dan Abdel Raouf dari namanya. Pada awal 1950an, Arafat mulai menggunakan nama Yasser. Selama bergerilya, dia mulai memakai Abu Ammar sebagai nom de guerre-nya. Kedua nama ini terkait dengan Ammar bin Yasir, salah seorang sahabat Nabi Muhammad. Walaupun menanggalkan sebagian besar nama aslinya, dia memilih tetap memakai nama Arafat karena pengaruh nama tersebut dalam tradisi Islam.

Arafat dilahirkan di Kairo, Kerajaan Mesir. Ayahnya, Abdel Raouf al-Qudwa al-Husseini, adalah seorang Palestina dari Kota Gaza, yang beribukan warga Mesir. Ayah Arafat berjuang selama dua puluh lima tahun di pengadilan Mesir untuk mengklaim tanah keluarga mereka di Mesir sebagai bagian dari warisannya, tetapi tidak berhasil. Ia bekerja sebagai seorang pedagang kain di distrik El-Sakakini, sebuah distrik yang ditinggali orang-orang dari berbagai macam agama. Arafat adalah anak kelima dari tujuh bersaudara, dan satu dari dua (bersama adiknya Fathi) anak keluarga itu yang dilahirkan di Kairo. Ibunya, Zahwa Abul Saud, lahir dari sebuah keluarga yang berasal dari Yerusalem. Ia wafat karena menderita penyakit ginjal pada tahun 1933, saat Arafat masih berusia empat tahun.

Kunjungan pertama Arafat ke Yerusalem terjadi saat ayahnya, yang tidak mampu membesarkan tujuh orang anak sendirian, mengirimnya dan Fathi ke keluarga ibu mereka di Kampung Maroko, yang terletak di dalam Kota Lama. Kedua bocah itu tinggal bersama paman mereka, Salim Abul Saud selama empat tahun. Pada 1937, ayah mereka memanggil pulang keduanya untuk dibesarkan oleh saudara perempuan mereka, Inam.
Arafat mengalami hubungan yang kurang harmonis dengan ayahnya. Saat ayahnya wafat pada tahun 1952, Arafat tidak menghadiri pemakamannya, dan juga tidak mengunjungi makamnya setelah kembali ke Gaza. Saudara perempuan Arafat, Inam, mengatakan kepada sejarawan Inggris Alan Hart, bahwa dia dipukul oleh ayahnya karena mengunjungi pemukiman Yahudi di Kairo. Ketika ia bertanya pada Arafat alasannya tidak berhenti mengunjungi pemukiman itu, dia menjawab bahwa dia ingin mempelajari mentalitas orang-orang Yahudi.

Pada tahun 1980an, Arafat menerima bantuan keuangan dari Libya, Irak, dan Arab Saudi, yang dapat membantunya membangun kembali PLO yang terserak karena perang. Bantuan ini terbukti berguna saat pecahnya Intifada Pertama pada Desember 1987, yang dimulai sebagai sebuah kebangkitan rakyat Palestina menentang pendudukan Israel atas Tepi Barat dan Jalur Gaza. Kata "intifada" dalam bahasa Arab secara harfiah berarti "getaran", tetapi secara umum dipakai untuk menyebut sebuah kebangkitan atau revolusi. 
Fase pertama Intifada dimulai dengan sebuah insiden di pintu perbatasan Erez, dimana empat warga Palestina dari kamp pengungsi Jabaliya terbunuh dalam sebuah kecelakaan lalu lintas yang melibatkan seorang pengemudi Israel. Kabar merebak bahwa kematian tersebut merupakan aksi balas dendam dari kejadian pembunuhan seorang Israel yang tengah berbelanja di Gaza oleh seorang Palestina empat hari sebelumnya. Kerusuhan massal meledak sepanjang pekan, dan sebagian atas permintaan Abu Jihad, Arafat berusaha mengarahkan revolusi baru ini, yang berlanjut hingga 1992–93. Abu Jihad sebelumnya ditugaskan sebagai pemimpin komando PLO di wilayah Palestina dan menurut biografer Said Aburish, mempunyai "pengetahuan luar biasa mengenai kondisi setempat" dalam wilayah-wilayah yang dikuasai Israel. Pada 16 April 1988, saat Intifada tengah membara, Abu Jihad dibunuh di rumahnya di Tunis, diduga oleh regu tembak Israel. Arafat memandang Abu Jihad sebagai penyeimbang dari PLO pada kepemimpinan setempat di Palestina, dan memimpin prosesi pemakamannya di Damaskus.

Taktik paling umum yang digunakan oleh rakyat Palestina selama Intifada adalah melempar batu, bom molotov, dan membakar ban. Beberapa pemimpin setempat di kota-kota Tepi Barat melakukan protes tanpa kekerasan terhadap pendudukan Israel dengan menolak membayar pajak dan memboikot barang-barang Israel; Israel kemudian merespon dengan merampas sejumlah besar uang dalam razia rumah ke rumah rakyat.  Di saat Intifada mulai akan selesai, kelompok bersenjata Palestina baru muncul, terutama Hamas dan Jihad Islam Palestina, yang mulai melancarkan serangan terhadap Israel menggunakan taktik bom bunuh diri. Kecamuk internal antara rakyat Palestina meningkat secara dramatis.

Pada 1990, Arafat menikahi Suha Tawil, seorang Kristen Palestina. Dia berusia 61 tahun dan Suha 27 tahun pada saat pernikahan tersebut. Sebelumnya, ia bekerja sebagai sekretaris Arafat di Tunis, setelah ibunya memperkenalkannya dengan Arafat di Perancis. Sebelum menikah, Arafat telah mengadopsi sekitar lima puluh anak yatim Palestina.
Pada 25 Juli 1995, Suha melahirkan putri mereka di Neuilly-sur-Seine, Perancis. Anak tersebut diberi nama Zahwa, setelah mendiang ibu Arafat.
Selama pernikahannya, Suha beberapa kali berusaha meninggalkan Arafat, tetapi tidak diizinkan oleh suaminya. Ia menyesali pernikahannya dengan Arafat, dan mengatakan jika ia diberi satu peluang lagi, ia tidak akan menikahinya.
Arafat pernah terjebak dalam situasi nyaris tewas pada 7 April 1992, ketika pesawat Air Bissau yang ditumpanginya jatuh di Gurun Libya saat terjadi sebuah badai pasir. Kedua pilot dan seorang insinyur tersebunuh; Arafat mengalami memar dan syok.


Dr. Abdel Aziz al-Rantissi

  

Dr. Abdel Aziz al-Rantissi (dalam huruf Arab عبدالعزيز الرنتيسي) (lahir 23 Oktober 1947 – meninggal 17 April 2004 pada umur 56 tahun) adalah seorang yang ikut mendirikan militer Islam Palestina dan organisasi politik Hamas. Ia merupakan pemimpin politik Hamas dan Jubir di Jalur Gaza menyusul pembunuhan yang dilakukan Israel terhadap pemimpin spiritual Syekh Ahmad Yassin, walau pemisahan antara sayap politik dan militer Hamas dikatakan sejumlah orang informal. Seperti kebanyakan anggota Hamas, Rantissi menentang kompromi dengan Israel meneriakkan pembebasan seluruh daerah Palestina (termasuk keseluruhan Israel) melalui jihad melawan Israel.

Rantissi dilahirkan di Yubna, desa yang termasuk Yavne modern yang tak ditempati pada 1948, dekat Jaffa. Menyusul Perang Arab-Israel 1948, keluarganya mengungsi ke Jalur Gaza. Ia mempelajari ilmu kesehatan anak di Mesir selama 9 tahun dan merupakan dokter berijazah, walaupun tak pernah berpraktek. Pada 1976 ia kembali ke Gaza, anggota yang meyakinkan dari Ikhwanul Muslimin, di luar yang Hamas tumbuh.
Pada 1987, 4 penduduk kamp pengungsian Jabalya tewas dalam kecelakaan LaLin. Menurut Rantissi, ia bergabung dengan Syekh Ahmad Yassin, 'Abdel Fattah Dukhan, Mohammed Shama', Dr. Ibrahim al-Yazour, Issa al-Najjar, dan Salah Shehadeh dan orang-orang yang diinstruksikan keluar mesjid meneriakkan Allahu Akbar ("Allah Maha Besar"). Inilah saat dimulainya Intifadah pertama, menurut Rantissi, di bawah yang kpemimpinan organisasinya yang lantas terkenal sebagai Hamas terbentuk kemudian pada tahun itu. Akhirnya saingan PLO mengikat kekuatan dengan mereka, dan kepemimpinan bersatu terbentuk.
Pada Desember 1992, Rantissi dipaksa keluar ke Lebanon bagian selatan, sebagai bagian pengusiran 416 Hamas dan mata-mata Jihad Islam Palestina, dan muncul sebagai JuBir umum dari pengusiran. Selama masa kembalinya pada 1993, ia ditangkap, namun kemudian dibebaskan. Ia juga ditahan beberapa kali lebih dari periode panjang oleh Otoritas Palestina, karena kritiknya pada Pemerintah Palestina dan Arafat, kebanyakan di pertengahan 1999. Sedemikian taktik tak menyurutkan seruannya. Saat Rantissi kembali kepada posisi umum sebagai "tangan kanan" Yassin, ia menyisakan 1 dari pelawan utama untuk tiap gencatan senjata dan penghentian serangan terhadap Israel. Selama pembicaraan di antara kepemimpinan Hamas di Gaza dan luar negeri dan pada kontak tetapnya dengan Otoritas Palestina, Rantissi, bersama dengan Ibrahim Macadma, mengawasi sifat kepemimpinan Hamas.

Setelah kembalinya Syekh Yassin ke Jalur Gaza pada Oktober 1997, setelah pertukaran tahanan menyusul gagalnya percobaan pembunuhan Israel terhadap aktivis Hamas di Yordania, ia bekerja rapat dengan seorang syekh yang sudah tua untuk memperbaiki perintah hirarkis dan memperkuat keseragaman kader termasuk reorganisasi Hamas. Menyusul pengeluaran Salah Shehadeh dan Ibrahim Macadma, ia menjadi kepala politik dan juga menyambut pemimpin spiritual Hamas, menyisakan pembicara pokoqnya. Dalam banyak peran itu, Rantissi memimpin, menginstruksikan dan menetapkan kebijakan – termasuk aktivitas serangan, menurut interogasi mata-mata Hamas. Beberapa pernyataan umumnya diberitakan untuk menjalankan instruksi buat mujahid untuk menyerang.

Dalam masa ketegangan, Rantissi tak habis-habisnya menghadirkan suara lantang. He mengambil kesempatan pertemuan anggota Kongres AS Smith dan PM Israel saat itu Benjamin Netanyahu, 28 Januari 1998, untuk mengumumkan melalui Reuters "hanya ada 1 pilihan di depan orang-orang Palestina yang untuk kembali kepada perjuangan pemberontakan dan senjata melawan okupasi [Israel]." Dalam jam-jam penarikan diri Israel dari Bethlehem, 19 Agustus 2002, Rantissi dikutip dalam Manchester Guardian saat mengatakan mengenai Hamas' "senapan akan menyisakan perlawanan langsung musuh Zionis".
Masa jabatan 4 minggu Rantisi sebagai pemimpin Hamas dihabiskan dalam persembunyian, sekali pemakaman umum Ahmed Yassin, dihadiri orang banyak dalam jumlah besar, berakhir. Pada 17 April, ia keluar dari persembunyian untuk mengunjungi keluarganya di Kota Gaza, datang sebelum fajar dan tinggal sampai siang. Segera setelah ia meninggalkan rumah ia terbunuh.

Pada 17 April 2004, Rantissi dibunuh oleh Angkatan Pertahanan Israel dengan tembakan peluru di mobilnya. Cara kematian seperti yang ia telah pilih; sebelumnya ia berkata, "Kematian ini apakah dengan pembunuhan atau kanker; itu sama saja. Tiada yang akan mengubah jika itu ialah Apache (helikopter) atau perhentian jantung. Namun saya memilih untuk terbunuh dengan Apache." 2 orang lainnya, 1 orang pengawal, juga terbunuh dalam serangan itu. Radio pasukan Israel menetapkan bahwa inilah kesempatan pertama pada sasaran Rantissi, tanpa kerugian tambahan, sejak ia mengambil kepemimpinan Hamas, berkata ia telah menghabiskan sedikit minggu terakhir mengelilingi dirinya dengan anak-anak.


ARIEL SHARON

             Ariel Sharon. Getty Images

Ariel Sharon (Bahasa Ibrani: אֲרִיאֵל שָׁרוֹן, juga dikenal dengan Arik) (lahir di Kfar Malal, Mandat Britania atas Palestina, 26 Februari 1928 – meninggal di Tel Aviv, Israel, 11 Januari 2014 pada umur 85 tahun) adalah seorang politikus dan jenderal Israel.
Ia menjabat sebagai Perdana Menteri Israel dari 7 Maret 2001 hingga 14 April 2006. Kekuasaannya sebagai perdana menteri kemudian digantikan oleh Perdana Menteri (sementara) Ehud Olmert karena ia terkena serangan stroke pada Januari 2006. Ia mengalami koma dalam waktu yang lama, sehingga tidak memungkinkan untuk dapat kembali menjalankan tugas-tugas sebagai pemimpin pemerintahan.
Ia lahir di Kfar Malal (Mandat British Palestina) dan tampil sebagai pemimpin politik serta militer berkebangsaan Israel. Sharon juga pernah menjadi pemimpin Likud, partai terbesar dalam koalisi pemerintah dalam parlemen Israel, Knesset, hingga ia mengundurkan diri dari partai tersebut pada 21 November 2005. Ia kemudian membentuk partai baru bernama Kadima.
Selama tiga puluh tahun Sharon berdinas sebagai anggota Angkatan Bersenjata Israel. Pangkat tertingginya adalah Mayor Jenderal. Ia menjadi terkenal di Israel karena keterlibatannya dalam Perang Enam Hari pada tahun 1967 dan Perang Yom Kippur pada tahun 1973.
Ariel Sharon juga bertanggung jawab pada tragedi pembantaian Qibya pada 13 Oktober 1953 di mana saat itu 96 orang Palestina tewas oleh Unit 101 yang dipimpinnya dan pembantaian Sabra dan Shatila di Libanon pada 1982 yang mengakibatkan antara 3.000 - 3.500 jiwa terbunuh, sehingga ia dijuluki sebagai 'Tukang Jagal dari Beirut'.
Ia lahir dengan nama Ariel Scheinermann (Shinerman) dari sebuah keluarga pendukung gerakan Zionis. Pada usia 17 tahun, ia bergabung dengan kelompok mafia Haganah yang aktivitasnya meneror rakyat Palestina. Dalam melancarkan aksi teror, ia secara bergantian berada di bawah komando Perdana Menteri David Ben Gurion, Itzhak Shamir, dan Yitzhak Rabin.

Pada masa perang kemerdekaan Israel tahun 1948, di usianya yang ke-20, ia telah menjadi seorang komandan infantri Israel dalam Brigade Alexandroni. Pada saat ia hendak membakar sebuah ladang, tiba-tiba rentetan peluru pejuang Palestina menembus tubuhnya. Luka itu hampir saja merenggut nyawanya kalau saja ia tak diselamatkan rekannya. Pada tahun itu juga, ia melanjutkan studi di bidang hukum di Universitas Ibrani di Yerusalem. Pada 1953, ia membentuk sekaligus memimpin unit komando khusus " Unit 101" yang bertugas melakukan operasi-operasi khusus tingkat tinggi. Ia diangkat menjadi komandan dari korps para-komando dan terlibat dalam perang memperebutkan Sinai pada tahun 1956. Pada tahun 1957, ia meneruskan pendidikan kemiliterannya di Camberley Staff College, Inggris.
Selama tahun 1958-1962, Sharon pernah menjadi komandan Brigade Infantri, memimpin Pusat Pendidikan Infantri dan mengikuti sekolah hukum di Universitas Tel Aviv. Pada Perang Enam Hari (1967) yang melibatkan Israel melawan bangsa Arab, ia menjabat sebagai komandan sebuah divisi tentara dengan Brigadir Jenderal. Kemudian, ia mengundurkan diri dari dinas ketentaraan pada tahun 1972. Ketika terjadi Perang Yom Kippur pada tahun 1973, ia dipanggil untuk memimpin divisi tentara yang harus menyeberangi Terusan Suez.

Karier politiknya berawal pada tahun 1973 saat ia terpilih menjadi anggota Knesset. Tetapi, ia mengundurkan diri setahun kemudian untuk menjadi Penasehat Keamanan bagi Perdana Menteri Yitzhak Rabin. Ia kembali ke Knesset pada tahun 1977 dan menerima jabatan sebagai Menteri Pertanian. Kemudian, ia menjabat Menteri Pertahanan (1981-1983) ketika berkecamuk perang Lebanon saat tentara Israel memasuki Lebanon atas perintahnya.
Ariel Sharon kemudian mengundurkan diri ketika sebuah komisi pemerintah menuduhnya terlibat secara tidak langsung dalam penyerangan September 1982 atas kaum pengungsi Palestina di Sabra dan Shatila yang dilakukan oleh milisi Maronit Lebanon. Korban dalam peristiwa tersebut mencapai lebih 3.000 orang terbunuh. Selain, ia bertanggung jawab pada tragedi pembantaian Qibya 13 Oktober 1953 yang menewaskan 96 orang Palestina oleh Unit 101 yang dipimpinnya. Atas dua peristiwa tersebut, sebagian orang menjulukinya sebagai "Penjagal dari Beirut".

Periode 1984-1990, ia kembali memasuki kabinet dan menjabat sebagai Menteri Industri dan Perdagangan. Setelah itu, selama dua tahun, ia menjadi Menteri Perumahan dan Konstruksi. Periode Juli 1996-Juli 1999, ia menjabat sebagai Menteri Infrastruktur Nasional dan sebagai Menteri Luar Negeri (Oktober 1998-Juli 1999). Pada sidang Knesset bulan Mei 1999, ia terpilih sebagai Ketua Partai Likud menyusul mundurnya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Karier politiknya mencapai puncak ketika ia terpilih menjadi Perdana Menteri Israel pada Februari 2001.
Di tengah penjagaan yang sangat ketat, Ariel Sharon mengangkat sumpah jabatan sebagai perdana menteri ke-11 di depan Forum Knesset pada 7 Maret 2001. Pengambilan sumpah dilakukan setelah ia berhasil membentuk pemerintah persatuan nasional dengan spektrum politik yang paling luas dalam sepanjang sejarah Israel. Koalisi yang dipimpinnya mencapai dua kesepakatan dasar menyangkut masa depan perdamaian.
Langkah penarikan mundur pasukan dari Jalur Gaza menimbulkan pertentangan serius di tubuh partai, sementara dalam Partai Buruh terjadi pergantian pimpinan. Kursi Ketua Partai Buruh beralih dari Shimon Peres ke Amir Peretz. Ia merespons langkah tersebut dengan mundur dari Partai Likud (21 November 2005) untuk membentuk partai baru yang diberi nama Partai Kadima (bahasa Ibrani: קדימה, Qādīmāh, "maju ke depan") yang beraliran sentris.

Pada tanggal 18 Desember 2005 Sharon mengalami stroke ringan dan segera dibawa ke rumah sakit. Ia dirawat selama dua hari dan dijadwalkan akan menjalani operasi pada jantungnya pada 5 Januari 2006. Namun pada 4 Januari 2006 ia kembali masuk ke rumah sakit dari peternakannya di daerah Negev. Rupanya ia kembali mengalami stroke, dan kali ini tampaknya agak parah. Bersamaan dengan serangan stroke itu, Sharon mengalami pendarahan otak. Sharon menjalani operasi selama tujuh jam untuk menghentikan pendarahan itu dan membuang darah yang mengumpul di otaknya. . Ia dirawat di unit perawatan intensif dan kecil sekali kemungkinannya untuk kembali ke ajang politik, andaikata pun ia berhasil bertahan.
Sementara itu, tugas-tugasnya sebagai perdana menteri dialihkan kepada Wakil Perdana Menteri Ehud Olmert, yang saat ini berfungsi sebagai Penjabat Perdana Menteri.
Anggota-anggota kunci dalam Partai Kadima mengatakan bahwa mereka akan mendukung Olmert. Hal ini mengurangi kekuatiran bahwa gerakan tersebut, yang dibentuk oleh Sharon dua bulan yang lalu, akan retak apabila Sharon tidak ada. Sebuah jajak pendapat yang baru memperlihatkan Kadima akan menang dalam pemilu 28 Maret di bawah pimpinan Olmert.

Para pemimpin Palestina, yang menyelenggarakan pemilunya sendiri pada 25 Januari, mengatakan bahwa mereka berhubungan dengan para pejabat Israel untuk mengikuti kondisi Sharon. "Kami memantau cermat situasinya," kata perunding Palestina Saeb Erekat.
Kondisi kesehatan Ariel Sharon membuat banyak pihak was-was dan prihatin terhadap masa depan rencana perdamaian di Timur Tengah. Kebijakan Sharon untuk melakukan pengunduran diri dari Jalur Gaza dan Tepi Barat diyakini sejumlah pihak sebagai langkah maju menuju perdamaian dengan bangsa Palestina. Namun kebijakan ini banyak mengalami tantangan dari golongan kanan di Israel.
Pada 11 Februari 2006, kondisinya memburuk dan ia kembali harus menjalani pembedahan darurat setelah sistem pencernaannya rusak parah.
Pada 11 April 2006, Kabinet Israel mengangkat Olmert sebagai Perdana Menteri Sementara yang berlaku mulai tanggal 14 April, kecuali apabila kesehatan Sharon membaik. Pada 14 April Sharon dinyatakan "berhalangan tetap", karena sudah 100 hari ia dirawat di rumah sakit. Dengan demikian Olmert resmi menggantikannya pada hari itu.

DOSA-DOSA ARIEL SHARON

Selain pencaplokan wilayah Palestina sejumlah dosa besar yang diduga kuat pernah dilakukan mantan Perdana Menteri Israel, Ariel Sharon adalah tragedi pembantaian pengungsi Palestina di Camp Sabra dan Shatila Lebanon. Ribuan jiwa warga tak berdosa melayang di kamp tersebu dalam sebuah aksi serbuan bulan September 1982.
Kala itu Israel tengah menduduki Lebanon disebut mempersenjatai dan melatih milisi ekstrimis Kristen Maronit yang dipimpin partai Phalangist untuk melakukan pembantaian.
Dengan dalih memburu anggota Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Ariel Sharon yang kala itu menjadi Menteri Pertahanan Israel merestui serangan. Akibatnya diperkirakan korban jiwa yang jatuh antara 800 hingga 3000 orang meninggal baik dari pengungsi Palestina maupun warga setempat.
Setelah peristiwa tersebut sejumlah pihak memintanya mundur dar jabatan Menteri Pertahanan sebagai pentuk pertangungjawaban. Namun ia tidak mundur dan tak tersentuh hukum.

Kemudian Sharon terpilih sebagai Perdana Menteri pada 2001 sejumlah keluarga korban memperkarakan kasus tersebut di Belgia. Peradilan di Belgia tahun 2003 memutuskan Sharon bersalah dalam kasus tersebut. Namun, Israel mempertanyakan yurisdiksi pengadilan Belgia yang menyidangkan kasus tersebut membuat Sharon tak dapat dihukum.
Setelah desakan dari berbagai pihak Israel sendiri melakukan penyelidikan. Hasilnya, Sharon disebut bertanggung jawab. Namun bukan atas nama institusi yang dipimpinnya tapi atas nama pribadi. Ia disebut bersalah karena melakukan pembiaran terhadap pembantaian itu.
‘’Ariel Sharon telah terbukti secara personal bertanggung jawab oleh penyelidikan Israel atas kegagalan dalam mencegah pembantaian,’’ tulis kantor berita BBC, Sabtu (11/1).
Sharon sendiri meninggal dunia Sabtu (11/1) sore setelah terbujur kaku dalam kondisi koma sekitar delapan tahun. Serangan stroke dan komlikasi penyakit membuatnya terus menerus dalam perawatan dokter sejak tahun 2006. Panyakit tersebut juga yang menghentikan karir politiknya untuk kemudian diganti sebagai perdana menteri oleh Ehud Olmert.





Sabtu, 20 Desember 2014

Warga Palestina kembali Bentrok dengan Polisi Israel 4 tertangkap dan 3 terluka


    4 ditangkap, 3 terluka dalam bentrokan di Al-Quds

AL-QUDS (Arrahmah.com) – Pasukan khusus “Israel” pada Jum’at sore (19/12/2014) dilaporkan telah menahan empat warga Palestina dan melukai tiga orang dalam bentrokan di kawasan Wadi al-Joz Al-Quds.


Saksi mata mengatakan kepada Ma’an News Agency bahwa bentrokan itu pecah di wilayah di mana warga Palestina melemparkan bom molotov, kembang api, dan batu ke arah pasukan “Israel” yang dikerahkan di wilayah itu.

Pasukan “Israel” menyerbu lingkungan tersebt dan saksi mata mengatakan bahwa mereka menahan dan memukuli tiga pemuda Palestina. Dua tahanan tersebut diidentifikasi sebagai Abd al-Rahman dan Burhan Kashour, sedangkankan yang ketiga masih belum bisa didentifikasi.

Enam warga lainnya sempat ditahan selama beberapa menit sebelum dibebaskan.

Tiga warga Palestina mengalami luka ringan oleh peluru baja berlapis karet dalam bentrokan.

Pasukan “Israel” juga dilaporkan telah menahan seorang anak bernama Salah Moussa Owedah dari lingkungan al-Bustan di lingkungan Silwan Al-Quds.

Mengenai penangkapan tersebut, “israel” tidak bisa dihubungi untuk memberikan komentar.

Kembali Israel melancarkan serangan yang pertama kali sejak Gencatan Senjata Agustus lalu


"Israel" lancarkan serangan udara ke Gaza untuk pertama kalinya sejak "gencatan senjata" Agustus lalu                                               Gambar ilustrasi agustus yang lalu

 

GAZA (Arrahmah.com) – Pesawat tempur “Israel” membom sebuah lokasi di Gaza dalam serangan pertama sejak kesepakatan “gencatan senjata” pada bulan Agustus lalu.


 

Serangan udara diklaim menargetkan posisi Hamas dan diluncurkan untuk merespon sebuah roket yang ditembakkan dari Gaza sebelumnya, ujar pernyataan militer “Israel”.

 

Warga Khan Younis di Jalur Gaza mengatakan mereka mendengar dua ledakan, lansir Associated Press.

 

“Gencatan senjata” di bulan Agustus mengakhiri tujuh minggu pertempuran yang menewaskan lebih dari 2.200 orang, sebagaian besar warga sipil Palestina termasuk anak-anak dan kaum perempuan.

 

Tidak ada laporan mengenai korban dalam serangan udara pengecut ini. Seorang juru bicara militer Zionis, Letkol Peter Lerner pada Sabtu (20/12/2014) mengklaim bahwa serangan tersebut menargetkan infrastruktur Hamas. (haninmazaya/arrahmah.com)

PEMUKIM ISRAEL MENEMBAKI PULUHAN WARGA PALESTINA SAAT UNJUK RASA


   Ekstrimis Yahudi melepaskan tembakan ke arah demonstran Palestina di Bethlehem

BETHLEHEM (Arrahmah.com) – Seorang pemukim ilegal ekstrimis Yahudi menembaki puluhan warga Palestina pada Jum’at (19/12/2014) ketika mereka menggelar aksi protes atas pendudukan “Israel” dan kebijakan pembangunan pemukiman ilegal di Tepi Barat di desa al-Masara, dekat Bethlehem.


Penyelenggara aksi dari Komite Populer Melawan Pemukiman dan Dinding pemisah mengatakan bahwa pemukim ilehal melepaskan tembakan ke arah demonstran, namun tidak ada korban luka yang dilaporkan dalam serangan itu, lansir Ma’an News Agency.

Aksi protes mingguan juga digelar di sebuah jalan besar yang biasa digunakan oleh pemukim ilegal Yahudi, saat sejumlah besar lahan desa al-Masara disita oleh otoritas Zionis.

Pasukan Zionis tiba di lokasi dan membubarkan demonstran dengan gas air mata.

Laporan Ma’an menambahkan bahwa sejak tahun 2006 penduduk al-Masara telah menggelar aksi protes setiap minggu, menuntut dikembalikannya tanah mereka yang disita untuk pembangunan tembok pemisah. (haninmazaya/arrahmah.com)

Senin, 15 Desember 2014

PARA PENGUNGSI GAZA KEMBALI MEMBANGUN RUMAH MEREKA PASCA 51 HARI SERANGAN ZIONIS



Pengungsi Gaza tengah berjuang untuk kembali membangun rumah mereka
Di daerah pertanian di utara Jalur Gaza, warga Palestina dihantam serangan keras selama 51 hari oleh pasukan Zionis yang berakhir dengan gencatan senjata pada bulan Agustus lalu.

“Kami melarikan diri ketika ‘Israel’ melancarkan invasi terhadap Gaza,” ujar Abu Rashad Safiyya (22) kepada Al Jazeera. “Kami mencoba untuk kembali ke rumah kami selama gencatan senjata, namun kami menemukan rumah kami benar-benar hancur oleh
militer ‘Israel’.”
Safiyya dan keluarganya mencari perlindungan di sekolah-sekolah PBB terdekat.
“Kami kembali setelah perang akhirnya berakhir dan telah tinggal di sini di tenda nilon sejak saat itu,” ungkapnya.
“Mobil-mobil terbalik dan terbakar. Rumah-rumah rata dengan tanah dan masih berasap selama berhari-hari, dan kebanyakan hewan kami, domba dan sapi, mati dan berserakan di ladang.”
Pada awal Juli, ketika “Israel” melancarkan serangan ketiga di jalur pantai yang diblokade sejak akhir 2008, sebagian besar penduduk berlindung di sekolah-sekolah PBB dan fasilitas lainnya. Sekarang, lebih dari tiga bulan kemudian, warga Palestina di Gaza frustasi dengan lambatnya rekonstruksi. Di daerah seperti Beit Hanoun dan Shujayea di kota Gaza, seluruh pemukiman rata dengan tanah dan tak bisa dikenali.
Pasukan “Israel” menyerang Gaza melalui udara, darat dan laut musim panas ini, sementara faksi bersenjata di Gaza menembakkan roket ke “Israel” selatan dan meluncurkan serangan lintas perbatasan menargetkan posisi militer “Israel”.

Dari 2.257 warga Palestina yang gugur, PBB memperkirakan bahwa sedikitnya 1.563 adalah warga sipil termasuk 538 anak. Pada November, 100.000 orang di seluruh Jalur Gaza yang terkepung masih menjadi pengungsi, yang tinggal di tempat
penampungan sementara, sekolah atau dengan kerabat.

Di kebanyakan tempat, rekonstruksi belum dimulai. Karena tujuh tahun blokade “Israel” di Gaza dan kelambanan impor bahan bangunan.
Juru bicara UNRWA, Chris Gunner mengatakan terdapat 300.000 orang yang tinggal di 90 sekolah pada puncak perang, hari ini dia memperkirakan bahwa hampir 20.000 pengungsi internal tetap berada di 19 sekolah di seluruh Gaza.
“Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki pilihan lain dan tempat lain untuk pergi,” ujarnya kepada Al Jazeera.
“Kami memperkirakan bahwa 20.000 rumah benar-benar dibuat tak layak huni, baik hancur atau rusak parah sehingga mereka tidak dapat tinggal di dalamnya.”
Efek dari perpindahan massal telah memukul anak-anak.
“Kalian bisa membayangkan seperti apa rasanya bagi anak-anak yang pergi ke sekolah dan melakukan tugas akademik, dan kemudian kembali ke sekolah di lingkungan hidup kolektif. Sekolah-sekolah ini dirancang untuk tujuan pendidikan, bangunan tidak dirangcang untuk menampung ribuan orang selama beberapa bulan terakhir.”
Di Beit Safiyya, penduduk setempat memperkirakan 36 rumah, atau sekitar 90 persen dari bangunan di daerah tersebut yang telah diperbaiki, kembali dirusak oleh militer “Israel” selama invasi darat.
“Karena kami hanya berjarak 600 meter dari perbatasan, tank-tank disebarkan di sekitar desa,” ujar Abu Rashad Safiyya.
“Saya tidak mengenal kota saya sendiri, meskipun saya dibesarkan di sini, ketika kami pertama kali kembali.”

Frustasi dengan kurangnya bantuan kemanusiaan dan keterlambatan dalam rekonstruksi, penduduk di Beit Safiyya mulai membangun gubuk kayu untuk tempat tinggal mereka selama musim dingin. Selain menghabiskan seluruh tabungan mereka,
Safiyya dan keluarganya harus meminjam uang untuk membayar bahan bangunan untuk membangun dua kamar kayu senilai 1.500 USD.
“Saya menganggur dan tidak dapat menemukan pekerjaan dan gaji saudara-saudara saya juga sangat kecil,” ungkapnya.
“Ini adalah jumlah uang yang sangat besar bagi kami.”
Daripada tinggal di tempat penampungan atau sekolah, Yusef Abu Shreti (35), memilih membangun rumah-rumah kayu. Seorang mantan karyawan Otoritas Palesina, ia mengambil pinjaman dari bank lokal untuk membeli peralatan dan perlengkapan yang
dibutuhkan. Dia telah mengawasi penyelesaian selusin rumah dengan luas 10 meter persegi dengan masing-masing terdiri dari dua kamar. Ia menggunakan kayu daur ulang dan selusin rumah lainnya yang sejenis kini tengah berada di bawah konstruksi. (haninmazaya/arrahmah.com)